Rabu, 17 Januari 2024

Pesan Untuk Dya Yang Berulang Tahun

 Pesan Untuk Dya Yang Berulang Tahun


Cerpen 

Kepadanya saya sampaikan bahwa dia telah beranjak dewasa, meninggalkan dunia yang kekanak-kanakan, menuju kesadaran diri yang dengan itu dia akan bijaksana sesuai bertambah usianya nanti.


"Eh, kamu tanggal berapa ulang tahun di Januari nanti?" tanya saya lagi memastikan agar saya bisa memberikan ucapan selamat. Saya ingin memberikan lebih dari sekedar itu. Semoga baginya berkesan. Dia memberikan semacam petunjuk yang bagi saya samar. 


Langit siang itu begitu biru. Seperti hamparan samudera, tanpa pecahan awan-awan kecil. Di luar parkiran, barisan mobil sedang tenang menunggu giliran menjemput anak-anak. Suasana sekolah masih riuh dengan kegiatan pasca ujian semester. Pintu libur panjang siap terbuka.  


Dya mengetik dua digit angka yang mudah saya ingat. Tapi mister diam-diam saja. Balasnya dalam pesan pendek. Dia tidak ingin pria itu mengetahui. Seorang pria yang terpaut usia sepuluh tahun lebih tua darinya. Dya bisa memanggil dia dengan sebutan om karena saking jauh usianya. Pria itu sering kami panggil dengan sebutan uik. Sekarang masuk Desember. Sebulan lagi Dya merayakan hari bahagianya. 


Saya lebih suka memanggil dia dengan panggilan Dya, maka suka saya selipkan di obrolan pesan dengannya, sapaan Laudya saya sertakan. Nama yang sesungguhnya terdiri dari lima kosakata. Panjang. Dan yang pendeknya dan mengena di hati saya adalah panggilan Dya. 


"Tentang uik, itu si Val menyebutnya begitu agar tidak ribet, mister," jelasnya waktu itu. Dya memanggilnya dengan singkatan DH. Saya pun diberikan inisial BSP. Sesaat mendengar inisial itu saya sudah menebak maksudnya, tetapi saya pura-pura tidak tahu. Tidak lama dari itu saya gunakan inisial itu di tulisan-tulisan pendek saya di sosial media.


"Wkwkwkw BSP," tanggapan Dya di kolom sosial media saya.

"Benar kan," balas saya.


Saya suka dengan inisial itu. Jauh sebelum dia sematkan itu, saya sering menggunakan di akhir tulisan saya. Namun untuk yang kali ini saya kok merasa bahagia menyertakan inisial itu di atas pendahuluan setiap tulisan saya. Dya... Dya... Idemu lumayan membangkitkan daya kreatifitas saya.


Bel panjang berbunyi. Anak perwakilan setiap kelas sudah mengambil hp. Suhu siang itu terjaga karena hembusan pendingin ruangan kencang dari kelas-kelas yang pintunya terbuka. Bercampur aroma keringet anak-anak. Antara bau apek beradu dengan pewangi kimia ruangan. Durasi harian di sekolah begitu lama, entah apakah berdampak kuat terhadap kegemilangan karir anak-anak kelak. Meski saya melalui sekolah di separuh waktu harian, pukul 12.00 bel selesai belajar menggema, tidak berlebihan, sebagian waktu setelah pukul itu untuk kegiatan non formal, saya menikmati masa sekolah dulu dan saya merasakan dampak positifnya kegiatan belajar di sekolah yang tidak hampir seharian. Mestinya sekolah bukan tempat yang menjemukan. Bosan. Kaku. Jadi satu. Huh.


Meditasi di mulai. Mengalunlah instrumen piano menghantarkan ketenangan jiwa di lima menit meditasi diri berjalan. Seperti memasuki ruang kosong, sukma melesat meninggalkan diri. Tenang dalam tarikan napas yang teratur. Pikiran terasa enteng. Dan sekalipun singkat meditasi di jam terakhir melenyapkan sampah-sampah batin selama delapan jam pelajaran.


Liburan semester kedua cukup panjang. Di kalender pendidikan terbentang dua minggu masa libur. Namun demikian libur yang sesungguhnya tiga minggu. Setelah class meeting kegiatan di sekolah off. Anak-anak sudah bebas tanggung jawab akademik. 


Saya ingin selama masa santai di rumah, saya manfaatkan untuk melancarkan kemampuan menulis, meningkatkan kemampuan membaca cepat, melancarkan daya kreatifitas berkarya. Saya sedang merasa lancar menuangkan ide, mengolah gagasan dan lebih beruntungnya lagi saya berada di posisi waktu luang.


Sebab mulanya saya tidak bisa memastikan interaksi dengan Dya cukup sering. Sekedar bercerita ringan seputar hal yang lumrah. Saya bertanya, dia menjawab. Atau tiba-tiba dia penasaran suatu hal dan saya menjelaskan. Interaksi dua arah yang hidup.

 

Dya berada di tingkat akhir. Sebentar lagi lulus. Saya tidak tahu pasti apa rencana dia setelah lulus.

"Kamu kuliah nanti?" Saya penasaran apakah ada keputusan yang berbeda.

"Rencananya begitu. Dan di jurusan yang sama," jawabnya lengkap. Secukupnya obrolan tersebut, meluncur lagi obrolan yang berbeda. 


Waktu terasa singkat ketika kita masuk dalam sebuah pembicaraan yang sefrekuensi. Terlepas rentang usia yang jauh, selama komunikasi seperti udara yang berhembus, maka bergulir cerita-cerita. Saya gampang meramu cerita. Tapi saya miskin joks segar. Membuat perempuan tertawa dalam kondisi yang senyatanya bukan pembawaan saya. Lagi pula saya penjalin komunikasi yang cukup nyaman untuk beragam usia.


Dya yang berponi pendek, merapihkan bawaannya. Merapihkan seragam hari itu. Memaksakan diri untuk melawan mood yang menyerang batinnya. 


"Mood saya lagi kurang baik, mister." Akuinya tanpa malu.

"Kenapa begitu?" Saya hanya penasaran. Sebab hari itu sepengheliatan saya kegiatan sekolah lancar. Tidak ada yang saya rasa membuat mood hati saya tergoyah. Eh, iya kenapa saya menyamakan mood saya dengan mood Dya ya. Laki-laki kan makhluk realistis, perempuan tercipta dengan pembawaan lembut. Saking lembutnya jangan dekatkan masalah sepele ke perempuan, kalau tidak ingin air mukanya berubah muram. 

"Ini biasa kok," katanya sambil merapihkan kunciran rambutnya. 


Untuk usia perempuan se-Dya, mestinya dia membawa pendukung kecantikan, meratakan bedak dengan pola tipis, menyapu tipis-tipis bibirnya dengan, emm apa itu namanya, saya lupa.

"Lipgost," sambernya melihat saya tidak bisa menyebutnya.


Oh mungkin pembawaan Dya bukan tipe perempuan yang bersolek ruwet. Maksud saya perempuan yang mesti terlihat mempesona bagaimana pun keadaan saat itu. Atau barangkali dugaan saya meleset terhadap Dya. Tidak penting juga untuk saya ketahui. Dya tetaplah lawan bicara saat-saat kita santai.


"Laki-laki itu bukan tipemu. Dia petani. Tidak cukup tekun melewati tantangan-tantangan. Kamu tahu tantangan uik yang sesungguhnya itu apa?" Pancing saya agar Dya berfikir sejenak.

"Hum, saya bingung, mister," balasnya polos. 

Memang belum porsinya Dya berpikir seanalisis itu. Saya pernah membagi tipe-tipe laki-laki sebagaimana obrolan saya dengan guru-guru muda.


Tipe petani, saya mengibaratkan laki-laki yang tidak banyak berbuat selain mengikuti musim yang berlangsung. Laki-laki yang menerima apa adanya kondisi yang dia alami. Pokoknya persis kerja petani di tanah garapannya. Laki-laki yang sulit berbuat banyak untuk mengubah. 


Lalu tipe pendekar, saya ibaratkan dia yang tangguh dan mempunyai jurus-jurus penaklukan. Laki-laki yang giat melatih ketahanan diri dan mampu menaklukan di segala musim. Laki-laki yang tidak patah arang. 


"Masih ada satu tipe lagi yang perlu kalian dengar ini. Model laki-laki yang berbahaya untuk perempuan yang lugu. Terbatas seperti lalat dalam toples," jelas saya demikian pada guru-guru muda. Saya kok berprasangka di antara mereka ada yang tipe ini. Saya sedikit menahan apa yang ingin saya sampaikan itu. Melihat respon mereka yang amat penasaran, saya selesaikan penjelasan itu.


Tipe terakhir ini memang tidak nampak karakter aslinya, namun gampang dikenali gelagatnya. Laki-laki tipe kolektor. Ingin saya bahasakan lebih kasar sepertinya berlebihan sekali. Laki-laki yang menganggap bahwa satu perempuan ke perempuan yang lain serupa barang-barang koleksian. "Kalian ngertilah, namanya barang koleksian. Ia bisa suatu saat tidak dibutuhkan ketika ada barang yang menarik hatinya," ungkap saya datar. Mereka hanya mendengar dan tidak mengangguk dan saya yakin bukan informasi penting buat mereka.


Malam yang semakin mendekati pergantian waktu, saya melihat di layar ponsel Dya mengetik. Hiburan malam yang menambah ide saya berkarya adalah berbalas pesan di sosial media dengannya. 

Uik dm apa malam ini? Ketik saya padat.

Engga. Dia lelah kayanya. Balas Dya singkat. Dan seperti malam-malam sebelumnya cerita satu ke cerita lainnya membentuk keseruan tersendiri. Waktu malam terasa begitu singkat. Pagi atau siangnya di kala senggang berbalas pesan dengannya adalah keteduhan yang melingkupi ruang jiwa saya.


Sebagian pesan untuknya sengaja saya tulis di sini. Saya lupa persisnya apakah sudah saya sertakan dalam obrolan pesan-pesan pendek dengannya. Saya tuangkan yang bisa saya tumpahkan di sini.


Tentang bagaimana meluaskan kesadaran diri agar selalu engeh terhadap yang sedang terjadi/belum terjadi. Dugaan saya terhadap Dya agaknya tepat, dia adakalanya mudah penasaran dan cenderung besar rasa ingin tahunya. Sambil mendengarkan musik pop Indonesia era 2000-an mengalir lancar kalimat-kalimat saya untuknya. Masih tersisa satu jam menuju pukul 15.00, jam pulang kantor. Udara siang terasa kering dan membuat ubun-ubun pusing. 


Mengetahui apa pun yang perlu diketahui saat ini begitu mudah. Terjangkau dan cepat. Apakah Dya sudah tahu/belum, bahwa keliru dalam mencari sesuatu maka hasilnya tidak akurat. Bagi saya data-data yang valid penunjang informasi yang kredibel. Dua istilah itu Dya paham. Hampir sering istilah-istilah ilmiah saya selipkan. Dya menunjukan minatnya terhadap pencarian sesuatu yang ingin dia ketahui. Hal itu pertanda baik. Dya tidak mudah percaya. Dya bersifat skeptis.


Kecerdasan adalah faktor utama kemudahaan mencapai hal apa pun itu. Sempat saya bilang ke Dya bahwa kriteria laki-laki yang pertama adalah dia yang cerdas. Cerdas dalam berfikir. Ukurannya cepat berfikir, cepat merespon, cepat menganalisa. Intinya pengolahan kerja otaknya cepat. Dya belum berada di usia ideal menentukan siapa tambatan hatinya. Jika di saatnya nanti Dya mencari sosok yang diidamkan, tepat rasanya laki-laki cerdas dan syukur-syukur dia juga pintar di displin keilmuan tertentu. Saat itu terpenuhi sebagian kebahagiaan terengkuh di sisinya. Hawa dingin mengitari ruangan saya berada. Satu, dua, tiga meja kerja ditinggal pulang pemakainya. Saya terbiasa sampai agak sorean di kantor. Seperti biasa pukul 17.00 saya keluar ruangan dan mengunci ruangan sebagai kewajiban penghuni terakhir. 


Seusianya lumrah ingin tahu banyak hal. Ingin mencoba hal-hal baru juga wajar. Saya yakin Dya mengalami masa puber. Mungkin ingin mempunyai pacar. Ingin mendapatkan perhatian lebih secara khusus. Tapi untuk Dya, saya sempat menuliskan kalimat khusus di buku saya, yang saya berikan hanya untuk Dya: jangan pacaran dulu sebelum lulus sekolah/sebelum jadi sarjana. Kenapa demikian? Sekolah/kuliah adalah masa terbaik mengembangkan minat diri, menguatkan potensi-potensi diri dan menjajal hal-hal positif yang berdampak pada masa depan. Yank-yank-an di usia yang tidak tepat justru menjerumuskan diri di jurang kegagalan sejak awal. Untuk hal itu saya memang tidak masuk dalam obrolan pendek dengannya. Musik yang terdengar seperti ikut dalam nuansa saya siang itu. Liriknya akrab di masa saya remaja. Saya pernah memainkan musik itu. Mendayu dan menghanyutkan para pendengarnya. Saya tidak ingin terhanyut. Saya cukupkan pesan-pesan tersebut untuk kemudian terbaca Dya.


Selain pesan-pesan khusus saya itu, untuk hal akademis Dya tidak saya ragukan. Prestasinya terjaga sampai di jenjang terakhir. Tetapi untuk pengetahuan di luar akademis saya kok yakin Dya belum banyak mengetahui. Saya yang senang bercerita, mudah menentukan tema obrolan dengan siapa pun lawan bicara saya. Untuk dengan Dya saya nyaman bercerita dengan tema remaja. 


Cerita-cerita yang saling berhubungan di kemudian hari memang saya niatkan agar Dya bisa selalu membacanya kapan dia mau. Saya tidak memberikan alasan yang jelas kenapa saya menjadikan Dya sebagai objek tunggal bercerita. Biar Dya simpulkan sendiri.


Angin akhir tahun berhembus dari arah saya menyelesaikan tulisan pendek. Di sebuah tempat jajajan kekinian saya tumpahkan gagasan baru dalam waktu tiga puluh menit. Tidak nampak senja kemerahan di bawah saya berada, namun suasananya seperti temaram di jiwa saya. Suasana berkarya saya sedang bagus-bagusnya. Apakah ini karena intensitas obrolan saya dengan Dya? Yang saya rasa ini karena adanya peningkatan daya kreatif saya. Dan saya juga bukan tipe laki-laki yang mudah mengakui alasan kenapa-kenapanya. Terlebih kepada Dya.


Cerita yang baru saya selesaikan, saya bagikan ke Dya. 

"Saya kok jadi malu sendiri," tanggapannya tersipu-sipu.

"Ini kisah tentang saya semua nih."

"Tentu tidak. Ada sebagian tentangmu."


Saya ingin cerita itu sampai ke Dya secara utuh sebelum atau tepat di tanggal 18 Januari, di tahun yang baru. Boleh lah dianggap sebagai hadiah kebahagiaan untuknya. Dan yang sesungguhnya, masih ada cerita panjang yang saya siapkan untuknya. Mumpung Dya belum lulus sekolah dan selagi Dya belum mempunyai pacar, bebas untuk saya jadikan objek bercerita. Sebuah novelet yang berjudul Dya -penyebutan pendek dari namanya Laudya. Semoga semesta mendukung.

VGH, 28 Desember 2023.


Penulis

BSP, pemerhati humaniora tinggal di Kab Bekasi. Menulis fiksi dan non fiksi. 







0 comments:

Posting Komentar