This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 10 Januari 2020

Biarkan Alamiah yang Bekerja, Nyatanya Cukup Melelahkan

Biarkan Alamiah yang Bekerja, Nyatanya Cukup Melelahkan

Oleh Bagus Styoko Purwo

Tulisan ini mengambil gagasan dari percikan #2 buku yang berjudul Buku Catatan Untuk Calon Penulis


#2. Bagian ke-1: jangan pernah membiasakan meninggalkan tulisan yang belum jadi hanya karena kehabisan ide. Setiap kali muncul masalah seperti itu hadapilah. Tanamkan dipikiran Anda, kalau kamu terbiasa membuat tulisan terbengkalai tidak selesai, maka Anda akan punya kebiasaan lari dari tanggung jawab di kehidupan sehari-hari.

Bagian ke-2: menjadi penulis adalah membiarkan sebagian dari diri Anda menjadi seorang seniman. Seorang seniman yang baik tahu akan hal ini : membiarkan spontanitas bekerja dan memelihara rasa kanak-kanak untuk terus ada. Bermainlah. Bermian dengan kata-kata. Bermain dengan gambar. Bermain dengan coretan dan goresan. Lakukan dengan spontanitas dan rasa kanak-kanak yang indah itu...

Melakukan suatu hal tanpa terencana atau merencanakan suatu hal. Yang pertama, tanpa terencana tidak menimbulkan masalah susulan bila itu suatu hal yang biasa terjadi. Misalkan maka siang dalam suatu perjalanan boleh di mana saja. Sedapatnya warung nasi atau rumah makan pinggir jalan. Tidak masalah makan di rumah makan yang bukan langganan. Sebabnya jelas, sedang dalam perjalanan. Kalau pun rasanya tidak berkenan, ya ditinggalkan saja sajiannya dan meloncat ke rumah makan yang lain. Memang rugi, tapi dapat dimaklumi. Yang kedua, perlu perencanaan. Lain contoh, melakukan traveling ke sejumlah destinasi. Di buat serinci mungkin agenda selama traveling agar tidak menimbulkan masalah. Traveling tanpa agenda atau ketepatan dari agenda yang ada sama juga dengan menunda rasa bahagia selama traveling.

Dalam berkarya, seorang seniman, entah dia musisi, penulis atau pelukis, ada saja di waktu tertentu seperti tidak bisa menahan kejolak berkarya. Saat itu juga tidak lagi memandang ruang dan waktu. Ia perlu mengeluarkan gelora gagasan yang datang seperti tamu tidak di undang. Mengejutkan. Ia paham bagaimana menyikapi keterdesakan untuk menumpahkan ide berkarya. Maka ia yang berstatus penulis mencurahkan idenya di note gawai, di sebuah buku atau di hadapan laptop. Kalau itu yang saya alami, saya catat dalam notes. Namun bagi ia pekerja seni yang memerlukan media penumpahan ide, ia harus cepat sampai di studionya, lalu menyelesaikan sampai tidak tersisa gelora berkarya di dada, di kepalanya.

Biarkan alamiah yang bekerja, tepatnya untuk apa pun itu yang tanpa perlu persiapan khusus, tanpa fasilitas penunjang tertentu, mekanisme suatu hal dapat bekerja tanpa kendala. Saya sedang melatih diri menulis tanpa persiapan. Bahkan menulis tanpa ide sebelumnya. Saya biarkan apa yang hendak otak saya besitkan. Giliran saya yang mengatur bagaimana agar menjadi tulisan yang nyaman dibaca. Dengan cara itu saya bisa meninjau keberlangsungan alamiah yang seperti apa yang sesuai dengan saya.

Namun faktanya saya masih sering kesulitan merangkai kata. Masih sering menghapus dan mengedit kalimat yang sudah ada. Barangkali hambatan turunnya kata-kata dari dalam benak disebabkan belum mahirnya saya mengoperasikan sistem berkarya.

Teori dari penulis buku ini adalah menulislah selama dua bulan. Jangan tidak menulis walau sehari saja dalam dua bulan itu. Bahkan ia menulis serius selama enam bulan bila terlewat tidak menulis di salah satu hari. Teori itu saya dapatkan di sebuah situs yang mengutip wawancara dengannya. Saya coba perluas teori dia itu. Saya menulis dalam satu halaman, minimal. Ternyata saya sanggup. Saya tingkatkan menjadi empat halaman. Kemarin saya sanggup menulis sampai enam lembar. Semoga ini perkembang baik saya. Sampai di mana saya kuat berproses.

Di awal tahun 2020 saya menargetkan akan menulis untuk banyak media. Saya buat di notes gawai ibunya anak-anak. Dalam sehari minimal saya menulis untuk satu media. Di minggu pertama sasaran saya adalah media daring. Penelusuran media yang saya maksud sampai ke style rata-rata penulis di sana. Saya pelajari isu-isu apa yang kebanyakan diangka sebagai tema. Alhasil saya semakin payah mengikuti gaya menulis ngpop ala mereka.

Kalau meniru bagaimana mereka mengulas dengan gaya yang sama, analogi yang kurang lebih sama, rasa-rasanya saya bisalah. Tapi saya ini kan sedang melatih keras daya kreatif. Kekuatan kreatif dalam diri.

Sudut pandang tulisan. Tulisan di tema yang sama dengan sudut pandang yang berbeda akan memperkaya informasi. Bukankah sebuah karangan dihadirkan sebagai sumber informasi. Selebihnya adalah kenikmatan saat membacanya.

Saya pernah membaca buku yang mengulas persiapan menulis tanpa ide. Si penulis buku itu juga tidak percaya dengan istilah writing block. Hambatan penulis hanya berlaku untuk mereka yang tidak memiliki keterampilan menulis. Kalau saya bilang, mereka kurang niat yang kuat.

Bekerja yang tidak meruntut detail dalam pelaksanaanya ada saja lubang-lubang kecil. Bisa disebut masalah. Masalah mencuat karena ada kesenjangan fakta dengan target. Jadi detail pekerjaan merupakan keniscayaan. Sedangkan menulis ditahapan profesional menyertakan detail saat penggarapannya.

Menulis tanpa outline dan yang berbekal outline, tergantung kebiasaan si penulis. Outline difungsikan sebagai pemberi arah, pemberi batas. Penulis terampil mengolah tulisan dengan panduan outline di otaknya. Penulis satu dengan lainnya tidak sama mendudukan outline dicara ia berkarya.

Di tulisan ini saya membebaskan diri dari outline. Maksudnya memfungsikan kealamiahan otak menghimpun kepingan inspirasi. Masuk paragraph dua saya mulai payah mau menyampaikan apa lagi. Tapi saya patuh pada nasehat #2 ini bahwa jangan meninggalkan tulisan yang tidak selesai. Bingung mau membahas apa, tapi alternatif menguraikan judul menjadi sub-sub pembahasan berikutnya mungkin saya pilih. Intinya saya harus mencapai empat halaman ini.

Melelahkan memang, usaha menyatukan kata ini dengan kata itu. Mengatur plot agar tercipta keterpaduan. Mengisi waktu lima belas menit bagi pembaca untuk menyelesaikan artikel yang sedang di lahapnya. Ini yang sedang saya alami. Saya harus tangguh melewati rasa lelah menuntaskan ini di dua tempat terpisah.

Di sekolah, saya mencicil lembaran pertama. Judul saya tulis di sekolah. Sambil menunggu peserta didik mengerjakan menceritakan alur penjualan berdasarkan teori yang telah disampaikan. Menulis tidak melulu di tempat sunyi. Itu yang saya rasakan. Saya juga tidak lagi sulit menyambi mengetik di tablet di sela-sela mengajar. Kemarin hal itu saya coba. Peserta didik menyelesaikan langkah setup data perusahaan dan lima transaksi. Selang waktu mereka selesai, dua jempol saya menekan papan tablet. Hasilnya lumayan. Saya membayangkan Mbah Nun menulis terjeda tamu-tamu yang seperti silih berganti konsultasi dengannya. Konsetransi beliau menunjukkan bakat dan khazanah pengetahuan mendukung dan sama-sama kuat.

Penulis dengan modal kuat berupa pengetahuan, selain cakap secara teknis, karya rata-rata yang ia selesaikan melintasi zaman. Saya menyakini itu Mbah Nun. Beliau menulis esai sebagai bagian shadaqoh di kehidupan ini. Saya belajar menulis cakap agar kelak menempati strata kehidupan yang tidak hanya bermanfaat, tapi juga kaya raya. Orang kalau kaya harta dan berhati dermawan, setiap hembusan napasnya adalah perubahan yang signifikan. Sejarah menceritakan shadaqohnya orang sugih mengalirkan keberkahan bagi lingkungannya.

Saya tidak tahu pasti apakah tulisan ini membahas sesuatu yang monoton. Yang saya bisa tuliskan ya seperti ini. Tumpahkan saja. Lagi pula memang ada hal baru yang belum di tulis? Di tema ini yang utama saya tuangkan isi kepala ke sini. Sebisa mungkin saya cocokan pembahasan ini ke bagian yang ini. Pembahasan itu sepertinya masih kurang. Beberapa kalimat perlu ditambahkan. Oh bagian ini kok tidak nyambung dengan bagian sebelumnya.

Pokoknya saya memancing ide apa saja. Melihat mobil, ide tentang mobil. Mendengar cerita ibunya anak-anak, ide tentang ibu rumah tangga. Tidak sulit menjaring ide. Andai saya mahir, ide-ide mudah saya alih wujudkan ke dalam tulisan-tulisan yang inspiratif.

Menulis itu terkesan kering jika bahan bacaan saya minim atau saya salah memilih buku bacaan. Salah membaca saja berpengaruh ke kualitas menulis. Orang-orang bisa sedemikian fanatik pada satu hal karena menyakini betul informasi yang mereka baca atau terima.

Latihan melancarkan menulis ini, bahan-bahan bacaan saya tertuju pada para penulis besar. Mereka itu sudah jaminan. Jam menulisnya sudah teruji jaman ke jaman. Seperti ketika saya membaca buku non fiksi Prof Sapardi Djoko Damono. Beliau menulis seperti sedang memberikan ceramah kuliah. Memang seperti itulah, menulis seperti sedang berbicara. Sehingga bahasa lisan dengan bahasa tulisan hanya berbeda ruang penyampaian. Bahasa lisan di sampaikan secara langsung dan berjarak dengan penuturnya. Adapun bahasa tulisan doi sampaikan di media kertas, blog atau sejenisnya dan berjarak dengan penulisnya.

Ide besar yang dituliskan secara tuntas, orisinalitas muatannya terjaga sepanjang jaman. Para pendiri bangsa ini menuliskan berjilid-jilid ide-ide besar. Mereka sampaikan di podium. Mereka bukukan. Curahan kehebatan pemikiran mereka terus tersambung di lain jaman. Ir. Sukarno menulis tema besar kebangsaan, tema agama, tema peran wanita dalam mengisi kemerdekaan. Tan Malaka dengan ide-ide besarnya mudah kita baca saat ini.

Saya juga tidak tahu pasti saat itu apakah Sukarno, Tan Malaka, Buya Hamka, menulis dengan pola spontan. Alamiah belaka atau mereka sediakan outline yang membekukan gagasan-gagasan besar itu agar tidak cair di saat suhu perjuangan memanas. Nyatanya mereka selesaikan itu. Melihat hasil pemikiran mereka di masa silam, kini saya sadar mereka tidak sepayah yang saya alami.
Bekasi Kota & Desa Babelan Kota, 10 Januari 2020
(Tulisan ini di selesaikan di SMK Ananda, Bekasi Timur dan di rumah, Desa Babelan Kota, Kab. Bekasi)

Kamis, 09 Januari 2020

Mau Seperti Apakah Saya Nanti, Penulis Terampil, Penulis Beruntung atau Pembaca Setia?

Oleh Bagus Styoko Purwo

Tulisan ini adalah percikan dari alenia pertama di bagian #1.


Halaman pertama. Sesungguhnya tidak ada penulis hebat. Yang ada hanyalah penulis yang terlatih dan penulis yang beruntung. Yang pertama bisa kita usahakan, tapi juga tidak perlu kita pikirkan.

Halaman kedua. Masalah utama seorang penulis adalah menulis. Maka mulailah menulis. Menulis tentang apa saja. Bebaskan diri Anda. Hilangkan semua kekhawatiran. Hapus cepat kata 'jangan-jangan' dari pikiran Anda. Mulailah...

Saat ini keseharian saya berada di sekolah. Malamnya mengampu dua matakuliah. Tapi hanya pada malam rabu, malam kamis dan malam sabtu. Sabtu paginya mengampu satu matakuliah. Saya berlatar pendidikan Ekonomi -Akuntansi. Maka semua tugas mengajar saya di rumpun akuntansi.

Saya mengerti akuntansi sampai ke tahapan lanjutan. Kalau di sekolah, saya mengajarkan akuntansi dengan target peserta didik mampu memahami konsep dasar akuntansi. Sedangkan di perguruan tinggi, target saya hanya bagaimana mahasiswa mendapatkan gairah perkuliahaan secara kondusif dan harapan nanti mereka lulus matakuliah saya dengan berbekal kompetensi bidang akuntansi.

Pada dasarnya akuntansi itu mudah. Menuliskan transaksi-transaksi harian, mengelompokkan dan melaporkan dalam cetakan laporan keuangan. Prakteknya agak sedikit membingungkan. Bagi yang tidak telaten pasti enggan melanjutkan tahapan berikutnya.

Di dunia akuntansi yang saya ambil sebagai praktek profesionalitas adalah ketersambungan antara catatan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Jadi bila transaksi pertama di catat sebesar Rp. 10.000 maka pencatatan kedua hingga keempat menunjukkan angka yg sama. Hanya saja terdapat penjumlahan di bagian yang sama. Saya contohkan, penerima uang sebesar Rp. 10.000 di catat di Kas sebesar Rp. 10.000. Penjumlahan berikutnya terjadi kalau terdapat penerimaan uang. Nanti akan saya jelaskan di sesi tulisan yang lain.

Saya mengajar sejak tahun 2007. Saat itu sedang di semester ketiga. Saya ingin bekerja yang tidak menganggu perkuliahaan. Saya tidak pernah berhasrat menjadi guru, melainkan kesempatan diterima mengajar di SMK saya dululah, saya mulai menapaki jalan mengajar.

SMK 11 Maret. Berlokasi di sekitaran daerah Pulo Gadung. Di sampingnya berdiri Bank Mandiri. Di depannya pusat perbelanjaan PTC. Lebih di kenal sebagai semar kawasan industri. Kependekan dari SMK Sebelas Maret.

Mengajar di hadapan murid-murid adalah hal yang baru. Saya sempat gerogi. Bahkan hampir jenuh karena belum menemukan chemistry mengajar. Hari-hari selama mengajar saya lalui dan saya tidak menyadari itu sebagai penyesuaian. Di kepala saya hanya bertengger yang penting bisa bekerja.

Mengajarlah saya hingga sekarang jumlah tempat mengajar terbagi di lokasi Bekasi, Jakarta dan Cileungsi. Saya merasa bahwa mengajar adalah bagian dalam diri saya. Saya ragu untuk menyebut sebagai passion karena saya juga sering merasa jenuh dan kalau kambuh menjadi kurang semangat mengajar dan belajar.

Bahan utama seorang pengajar adalah belajar. Kegiatan belajar meliputi membaca, berfikir, berdiskusi, dan mencari tahu. Saya senang membaca. Hal itu terjadi sejak saya SMP. Ibu bapak saya berlangganan Harian Kompas. Praktis saya lebih banyak membaca Kompas. Ibu malah membelikan buku-buku cerita. Buku yang agak serius yang saya beli waktu sekolah berjudul Habis Fajar Terbitlah Terang. Sebuah catatan harian RA. Kartini. Saya membacanya. Dan karena kapasitas nalar masih low, tidak banyak yang saya resapi. Hanya membaca halaman ke halaman selanjutnya.
Oh iya, ghostboom, serial novel horor juga sudah saya baca. Tapi saya belum bisa menyimpan kesan-kesan setelah membacanya. Mungkin, saat itu membaca yang saya lakukan sebagai latihan untuk dikemudian hari saya membaca buku-buku yang memerlukan daya nalar tinggi dan kemampuan meresap informasi yang tidak terbatas. Ya sekarang saya menyadari sekali pengaruh kebiasaan membaca yg sejak di mulai dulu.

Lalu, saya mulai berani menulis cerpen. Saya pernah mendapat kiriman sepasang sepatu sebagai hadiah hiburan lomba menulis cerita. Seingat saya tiga kali saya menerima surat penolakkan dari Redaksi Harian Kompas. Saat itu saya putus asa. Saya belum menganggap itu sebagai bagian dari proses. Belum menyadari bentuk dukungan redaksi terhadap saya. Maka saya pernah juga sempat iri kepada penulis-penulis yang berusia muda dapat menembus Kompas. Ya wajar saja mereka lolos redaktur. Kualitas tulisan mereka masuk kriteria redaktur, begitu yang saya pelajari saat ini.

Jauh di tahun berikutnya, Saya kembali lagi mengikuti sebuah kompetisi menulis traveling. Saya pilih Kota Tua sebagai tempat eksplorasi. Saya datang ke sana bersama pacar saya, yang sekarang menjadi istri saya. Bersamanya, saya menangkap beberapa moment Kota Tua. Wisata di sore hari di area bersejarah. Bangunan-bangunan pasca kolonial. Hiburan-hiburan setempat. Dan tak lupa sajian kuliner di sana. Saya juga membuat catatan kecil. Beberapa bidikan objek wisata saya jadikan sebagai pendukung ulasan.

Saya selesaikan ulasan traveling itu dengan judul Menutup Senja di Kota Tua. Dua atau tiga bulan setelahnya saya menerima email dari pihak penyelenggara, penerbit Diva Press. Mengabarkan bahwa karya saya masuk dalam tiga puluh nominasi catatan traveling dari seratus lima puluh peserta. Senangnya bukan main saya. Saya sudah merasa seperti penulis sungguhan. Mengikuti lomba itu tidak saya niatkan menjadi penulis.

Tak lama pemberitahuan itu, pihak redaksi mengabarkan saya apakah bersedia jalan-jalan ke Karimunjawa, Jepara. Hadiah utama untuk ketiga pemenang terpilih. Saya mengangguk setuju ketika mbak Rina, redaktur fiksi Diva Press mengabari. Dan saya berangkat ke Jogja untuk memulai perjalanan ke pelabuhan Jepara, menyeberang dengan kapal cepat ke pulau Karimunjawa.
Banyak sudah proses kepenulisan yang saya lalui. Di dalamnya terdapat kegagalan, dan penolakan atas naskah-naskah yang saya kirim baik ke media massa, penerbit dan acara-acara sastra bergengsi.

Saya rasa ini tahun yang tepat untuk meneguhkan eksistensi saya di dunia kepenulisan. Profesi saya memang mengajar. Saya juga menulis. Lalu nanti saya akan mengkurasi sejumlah karya kreatif. Tapi itu pencapaian selanjutnya.

Di awal tulisan ini, tema yang saya tentukan adalah menjadi penulis. Apakah cukup menjadi penulis saja? Ya tidak juga sih. Saya berharap menulis bisa membuka jalan manfaat dan benefit yang seluas-luasnya bagi karir saya. Kalau begitu harapan saya, saya harus merumuskan, entah disebut strategi, metode atau short cut.

Bersamaan dengan itu, sebuah buku menggugah proses kreatif saya. Saya merasa di tantang. Dan saya siap menjejalkan diri dalam tantangan itu. Ini tantangan pertama saya. Saya harus sanggup menuangkan gagasan dalam lima lembar. Maka saya jadikan lembaran di aplikasi tablet sebagai media menuangkan gagasan.

Saya anggap ini sebagai metode pelatihan menulis. Di dua halaman sebelumnya saya mencoba menceritakan profesi saya, bagaimana saya memulai profesi hingga sekarang ini, ulasan pengalaman di bidang tulis menulis. Dan dua halaman tersisa akan saya tuangkan dalam jalinan yang berbeda.

Penulis
Asosiasi kata penulis adalah mereka yang bekerja dengan mengandalkan tulisan. Hasil kerja mereka terukur berdasarkan kualitas dan jumlah tulisan. Penulis bisa itu sebagai esais, prosais atau penyair.
Medan berat mereka ada di tanah garapan menggagas ide, mengolah ide hingga mendistribusikan ide dalam bentuk karya. Mereka juga bermitra dengan penerbit. Mereka yang menggarap kerja kreatif dan penerbit yang mencetak, mengemas sekomersil mungkin, dan dipertaruhkan oleh distributor di toko-toko buku besar.

Penulis mempunyai segmentasi pembaca. Kalau diperluas ke segmentasi pasar, itu wilayahnya penerbit dan distributor (semoga saya tidak salah). Untuk bisa mengenali segmentasi pembaca, maka penulis perlu membaca peta minat pembaca, perlu memahami kecenderungan yang populer saat ini. Dan itu bisa diamati di setiap toko buku.

Tidak sedikit penulis yang menjadi besar karena karya-karyanya laris. Mereka secara halus mengajak para pembaca menyetujui apa-apa yang mereka tuliskan. Untuk hal ini saya termasuk yang terbawa "arus" emosi pasca pembacaan sebuah karya. Keberhasilan seorang penulis hingga sanggup masuk ke ruang kontemplasi para pembacanya membuktikan bahwa dirinya amat terampil.
Posisi saya lebih tepatnya adalah pembaca buku-buku fiksi dan non fiksi. Pengalaman yang terberi setelah menyelesaikan bacaan fiksi dan non fiksi hanya berbeda di ranah imajinasi. Bacaan fiksi begitu imajinatif. Bacaan non fiksi begitu terang dan jangan mencoba di imajinasikan.

Gairah saya tidak lagi sebagai pembaca. Masa saya hanya penikmat karya. Apa susahnya menciptakan karya. Saya tahu bagaimana proses mereka yang mengarang buku. Saya juga sudah baca karya mereka. Saya yakin untuk seperti mereka perlu pembiasaan, latihan mendalam, berfikir kreatif dan menulis dengan durasi panjang. Saya ini sedang menempa diri agar tidak lagi ngos-ngosan menyelesaikan sebuah tulisan. Melatih diri agar tidak merasa sulit menjangkau diksi menjadi kalimat. Membiasakan diri agar mudah menjaring ide. Bukan tidak mungkin dalam dua puluh hari ke depan saya adalah penulis terampil. Kapan saya jadi penulis beruntung? Masih terlalu dini bagi saya.

Apa Perbedaan Penulis Terampil dan Penulis Beruntung?

Orang yang menggeluti bidang tertentu dikatakan terampil dapat terukur dari cara ia menguasai teknik-teknik di dalamnya. Penulis terampil juga begitu. Ada sekian beberapa  teknik menulis yang secara aplikatif saya ketahui. Pertama teknik menulis pendek. Kedua teknik menulis panjang. Yang membedakan keduanya adalah jumlah kata. Teknik menulis pendek populer digunakan sebagai ungkapan. Terdiri dari dua sampai tiga kalimat. Adapun menulis panjang saya biasa sebut seperti esai. Dalam tulisan itu jumlah paragraph relatif banyak dan alur yang menyertainya menjadi penjaga ritmenya sebuah karangan.

Bagi yang belum terbiasa menulis serius cobalah untuk latihan menulis ungkapan. Kata-kata motivasi seperti potongan kutipan pak Mario Teguh. Dengan membiasakan menuangkan isi kepala ke sebuah alenia akan menstimulus fungsi kognisi si penulis itu.

Saya beranggapan bahwa penulis yang terampil pastilah mereka yang sanggup duduk lama menuntaskan karyanya. Mampu menjaga ketekunan. Rapih dalam berkarya. Dan mungkin juga mahir mengoptimalkan waktu seperti dalam hitungan lima belas menit satu paragraph selesai. Jika ia menulis untuk lima lembar halaman kuarto, cukup duduk serius lima belas menit dikalikan lima. Ya kurang lebih satu jam, termasuk editing ringan. Sungguh efektif cara memanage waktu dan begitu efisien memanfaatkan moment.

Penulis beruntung. Sependek pengamatan saya, keberuntungan sangat kecil jatuh ke mereka yang tidak menempa diri. Keberuntungan pada akhirnya seperti arisan. Akan mendapatkan giliran. Berlaku juga di lingkungan literasi. Penulis-penulis bernama besar adalah mereka yang terampil secara teknik, berkarya secara hebat, mutu karya tidak lagi diragukan.

Jadi penulis terampil dengan penulis beruntung menurut saya adalah satu jiwa dalam satu badan. Ia yang terampil, kelak beruntung di waktunya sendiri.
(Saya selesaikan di dua tempat. Di SMK Ananda dan di rumah. Bekasi Kota dan Desa Babelan Kota, 09 Januari 2020)





Mempraktekan Metode Buku Untuk Calon Penulis

Mempraktekan Metode Buku Untuk Calon Penulis
Oleh Bagus Styoko Purwo



Semoga permulaan ini membawa pengaruh besar dalam perkembangan keterampilan saya menulis. Saya masih berambisi menjadi penulis dalam skala luas. Saya mampu menulis opini, feature, cerpen, puisi, novel dan jurnal ilmiah. Mungkin ambisi itu tumbuh bersamaan dengan ketekunan saya di dunia pendidikan. Sebagai guru, tugas pengabdian saya tidak terbatas belajar dan mengajar.

Beruntung saya, di saat keinginan meningkatkan keterampilan menulis, terbitlah sebuah buku yang berjudul buku untuk calon penulis. Di tulis oleh penulis besar. Dulunya ia dikenal sebagai cerpenis. Sekarang dikenal Kepala Suku Mojok.co, investor Warmo -kafe di Jogja, punya penerbitan mayor. Saya sering membaca karya-karyanya di harian Kompas. Saat itu masih di bangku SMP. Saya memaksakan diri terus membaca cerpen-cerpen akhir pekan Kompas meski pemahaman saya terhadap pembacaan itu tidak tercapai. Baru kemudian di hari-hari ini kenikmatan proses membaca yang saya tekuni sejak dulu mendapatkan hasilnya. Membaca bagi saya adalah meruntutkan pesan-pesan kehidupan.

Buku yang memacu saya terus menulis ini, saya coba rumuskan penyederhaannya agar mudah di praktekan. Saya baca semua halaman.  Saya coba pahami setiap bagiannya. Inti-intinya saya dapati. Saya capture di tiga inti pengawalaannya. Lalu saya tulis di note di halaman yang menjelaskan bagian pertama. Untuk memulai sebuah pembiasaan baru, saya di uji dengan keadaan yang dinamis. Beberapa kali saya gagal. Terbawa kesibukan harian. Rumah tergenang banjir kiriman. Hingga kesulitan memanage waktu. Tapi kali ini saya tidak boleh kalah. Dalam dua puluh hari ke depan saya akan khatamkan buku ini. Dan kemajuan keterampilan menulis mutlak saya peroleh.

Rumus penyederhaan dalam buku ini.
1. Dalam setiap bagiannya, terserta lima sampai enam halaman kosong yang dimaksudkan sebagai media menuliskan gagasan. Gagasan yang dituangkan merupakan percikan dari materi (berupa nasehat, ajakan) di setiap bagiannya.
Karena saya bukan orang pintar dan masih susah memahami sesuatu hal, saya baca dua sampai tiga kali pesan di bagian yang hendak dituntaskan. Saya ambil beberapa kata kerja, kata benda, kata sifat atau frase-frase tertentu sebagai kata-kata kunci untuk mengembangkan gagasan. Bagi saya itu sangat penting. Saya kesulitan membagi gagasan secara general. Maka penggunaan kata-kata kunci nantinya, saya anggap sebagai pembagian gagasan. Dan sebelumnya tema utamanya sudah saya peroleh hasil dari membaca pesan.

2. Mulailah menulis berdasarkan kata-kata kunci yang terambil di bagian tertentu. Misalkan, di bagian pertama.

Halaman pertama (Di tulis #1). Sesungguhnya tidak ada penulis hebat. Yang ada hanyalah penulis yang terlatih dan penulis yang beruntung. Yang pertama bisa kita usahakan. Yang kedua bukan hanya tidak bisa kita usahakan, tapi juga tidak perlu kita pikirkan.

halaman kedua. Masalah utama seorang penulis adalah menulis. Maka mulailah menulis. Menulis tentang apa saja. Bebaskan diri Anda. Hilangkan semua kekhawatiran. Hapus cepat kata 'jangan-jangan' dari pikiran Anda. Mulailah...

Dari dua halaman itu saya bisa tentukan kata-kata kunci untuk mengembangkan gagasan/tema.

Gagasan atau tema pada dasarnya sama.
Kata-kata kunci di halaman pertama menurut saya adalah penulis terlatih dan penulis hebat. Dua kata kunci itu saya bagi dalam dua sub gagasan. Sedangkan kata-kata kunci di halaman kedua menurut saya lagi adalah menulislah dan bebaskan diri. Dua kata kunci itu dapat disisipkan dalam dua sub gagasan di atas. Tema yang saya usung adalah menjadi penulis. Judulnya mau seperti apakah saya nanti, penulis terlatih atau penulis beruntung.

Dalam setiap bagiannya rata-rata diberikan space sampai lima lembar halaman kosong. Artinya saya mesti berupaya menyelesaikan tema di atas sampai lima lembar halaman. Proses kreatif yang agak sedikit melelahkan bagi yang belum terbiasa. Perlu kesiapan kosakata dan permainan alur yang rapih. Bagi yang akan memulai agak sedikit terkendala. Namun bila sanggup melewati bagian pertama itu, di bagian-bagian lainnya hanya menyesuaikan saja.

Puthut EA, untuk kali ini menawarkan metode yang tidak melulu teoritis. Ia tidak mengajarkan langkah berbelit-belit untuk sekedar menulis. Bagi penulis pemula, menulislah dan abaikan teori ini itu, adalah upaya memperlancar turunnya kata-kata ke media yang di curahkan. Media pencurahan gagasan saya dalam dua puluh sesi ke depan menggunakan tablet. Saya harus mampu memanfaatkan waktu di berbagai kondisi dan tempat untuk menuntaskan praktek dalam buku ini.

Untuk memperlancar proses kreatif saya dalam menulis, pekerjaan yang telah saya selesaikan adalah membaca sekian karangan Puthut EA. Meski tidak secara tatap muka dan dibimbing secara intens olehnya, agar nuansa belajar begitu erat maka ketiga buku kumcer, tiga karangan novelnya dan sebuah kumpulan cerita sehari-harinya, saya baca dengan seksama. Saya dapati intisari dari semua yang ia kisahkan. Akhirnya saya dapat menulis, tapi masih terbawa pengaruh gaya kepenulisannya. Semoga segera saya dapati gaya kepenulisan saya sendiri.

Bekasi Kota, 09 Januari 2020
(Di selesaikan di sela-sela waktu menunggu peserta didik menyelesaikan studi kasus Usaha Dagang, di pelajaran Komputer Akuntansi)