Jumat, 10 Januari 2020

Biarkan Alamiah yang Bekerja, Nyatanya Cukup Melelahkan

Biarkan Alamiah yang Bekerja, Nyatanya Cukup Melelahkan

Oleh Bagus Styoko Purwo

Tulisan ini mengambil gagasan dari percikan #2 buku yang berjudul Buku Catatan Untuk Calon Penulis


#2. Bagian ke-1: jangan pernah membiasakan meninggalkan tulisan yang belum jadi hanya karena kehabisan ide. Setiap kali muncul masalah seperti itu hadapilah. Tanamkan dipikiran Anda, kalau kamu terbiasa membuat tulisan terbengkalai tidak selesai, maka Anda akan punya kebiasaan lari dari tanggung jawab di kehidupan sehari-hari.

Bagian ke-2: menjadi penulis adalah membiarkan sebagian dari diri Anda menjadi seorang seniman. Seorang seniman yang baik tahu akan hal ini : membiarkan spontanitas bekerja dan memelihara rasa kanak-kanak untuk terus ada. Bermainlah. Bermian dengan kata-kata. Bermain dengan gambar. Bermain dengan coretan dan goresan. Lakukan dengan spontanitas dan rasa kanak-kanak yang indah itu...

Melakukan suatu hal tanpa terencana atau merencanakan suatu hal. Yang pertama, tanpa terencana tidak menimbulkan masalah susulan bila itu suatu hal yang biasa terjadi. Misalkan maka siang dalam suatu perjalanan boleh di mana saja. Sedapatnya warung nasi atau rumah makan pinggir jalan. Tidak masalah makan di rumah makan yang bukan langganan. Sebabnya jelas, sedang dalam perjalanan. Kalau pun rasanya tidak berkenan, ya ditinggalkan saja sajiannya dan meloncat ke rumah makan yang lain. Memang rugi, tapi dapat dimaklumi. Yang kedua, perlu perencanaan. Lain contoh, melakukan traveling ke sejumlah destinasi. Di buat serinci mungkin agenda selama traveling agar tidak menimbulkan masalah. Traveling tanpa agenda atau ketepatan dari agenda yang ada sama juga dengan menunda rasa bahagia selama traveling.

Dalam berkarya, seorang seniman, entah dia musisi, penulis atau pelukis, ada saja di waktu tertentu seperti tidak bisa menahan kejolak berkarya. Saat itu juga tidak lagi memandang ruang dan waktu. Ia perlu mengeluarkan gelora gagasan yang datang seperti tamu tidak di undang. Mengejutkan. Ia paham bagaimana menyikapi keterdesakan untuk menumpahkan ide berkarya. Maka ia yang berstatus penulis mencurahkan idenya di note gawai, di sebuah buku atau di hadapan laptop. Kalau itu yang saya alami, saya catat dalam notes. Namun bagi ia pekerja seni yang memerlukan media penumpahan ide, ia harus cepat sampai di studionya, lalu menyelesaikan sampai tidak tersisa gelora berkarya di dada, di kepalanya.

Biarkan alamiah yang bekerja, tepatnya untuk apa pun itu yang tanpa perlu persiapan khusus, tanpa fasilitas penunjang tertentu, mekanisme suatu hal dapat bekerja tanpa kendala. Saya sedang melatih diri menulis tanpa persiapan. Bahkan menulis tanpa ide sebelumnya. Saya biarkan apa yang hendak otak saya besitkan. Giliran saya yang mengatur bagaimana agar menjadi tulisan yang nyaman dibaca. Dengan cara itu saya bisa meninjau keberlangsungan alamiah yang seperti apa yang sesuai dengan saya.

Namun faktanya saya masih sering kesulitan merangkai kata. Masih sering menghapus dan mengedit kalimat yang sudah ada. Barangkali hambatan turunnya kata-kata dari dalam benak disebabkan belum mahirnya saya mengoperasikan sistem berkarya.

Teori dari penulis buku ini adalah menulislah selama dua bulan. Jangan tidak menulis walau sehari saja dalam dua bulan itu. Bahkan ia menulis serius selama enam bulan bila terlewat tidak menulis di salah satu hari. Teori itu saya dapatkan di sebuah situs yang mengutip wawancara dengannya. Saya coba perluas teori dia itu. Saya menulis dalam satu halaman, minimal. Ternyata saya sanggup. Saya tingkatkan menjadi empat halaman. Kemarin saya sanggup menulis sampai enam lembar. Semoga ini perkembang baik saya. Sampai di mana saya kuat berproses.

Di awal tahun 2020 saya menargetkan akan menulis untuk banyak media. Saya buat di notes gawai ibunya anak-anak. Dalam sehari minimal saya menulis untuk satu media. Di minggu pertama sasaran saya adalah media daring. Penelusuran media yang saya maksud sampai ke style rata-rata penulis di sana. Saya pelajari isu-isu apa yang kebanyakan diangka sebagai tema. Alhasil saya semakin payah mengikuti gaya menulis ngpop ala mereka.

Kalau meniru bagaimana mereka mengulas dengan gaya yang sama, analogi yang kurang lebih sama, rasa-rasanya saya bisalah. Tapi saya ini kan sedang melatih keras daya kreatif. Kekuatan kreatif dalam diri.

Sudut pandang tulisan. Tulisan di tema yang sama dengan sudut pandang yang berbeda akan memperkaya informasi. Bukankah sebuah karangan dihadirkan sebagai sumber informasi. Selebihnya adalah kenikmatan saat membacanya.

Saya pernah membaca buku yang mengulas persiapan menulis tanpa ide. Si penulis buku itu juga tidak percaya dengan istilah writing block. Hambatan penulis hanya berlaku untuk mereka yang tidak memiliki keterampilan menulis. Kalau saya bilang, mereka kurang niat yang kuat.

Bekerja yang tidak meruntut detail dalam pelaksanaanya ada saja lubang-lubang kecil. Bisa disebut masalah. Masalah mencuat karena ada kesenjangan fakta dengan target. Jadi detail pekerjaan merupakan keniscayaan. Sedangkan menulis ditahapan profesional menyertakan detail saat penggarapannya.

Menulis tanpa outline dan yang berbekal outline, tergantung kebiasaan si penulis. Outline difungsikan sebagai pemberi arah, pemberi batas. Penulis terampil mengolah tulisan dengan panduan outline di otaknya. Penulis satu dengan lainnya tidak sama mendudukan outline dicara ia berkarya.

Di tulisan ini saya membebaskan diri dari outline. Maksudnya memfungsikan kealamiahan otak menghimpun kepingan inspirasi. Masuk paragraph dua saya mulai payah mau menyampaikan apa lagi. Tapi saya patuh pada nasehat #2 ini bahwa jangan meninggalkan tulisan yang tidak selesai. Bingung mau membahas apa, tapi alternatif menguraikan judul menjadi sub-sub pembahasan berikutnya mungkin saya pilih. Intinya saya harus mencapai empat halaman ini.

Melelahkan memang, usaha menyatukan kata ini dengan kata itu. Mengatur plot agar tercipta keterpaduan. Mengisi waktu lima belas menit bagi pembaca untuk menyelesaikan artikel yang sedang di lahapnya. Ini yang sedang saya alami. Saya harus tangguh melewati rasa lelah menuntaskan ini di dua tempat terpisah.

Di sekolah, saya mencicil lembaran pertama. Judul saya tulis di sekolah. Sambil menunggu peserta didik mengerjakan menceritakan alur penjualan berdasarkan teori yang telah disampaikan. Menulis tidak melulu di tempat sunyi. Itu yang saya rasakan. Saya juga tidak lagi sulit menyambi mengetik di tablet di sela-sela mengajar. Kemarin hal itu saya coba. Peserta didik menyelesaikan langkah setup data perusahaan dan lima transaksi. Selang waktu mereka selesai, dua jempol saya menekan papan tablet. Hasilnya lumayan. Saya membayangkan Mbah Nun menulis terjeda tamu-tamu yang seperti silih berganti konsultasi dengannya. Konsetransi beliau menunjukkan bakat dan khazanah pengetahuan mendukung dan sama-sama kuat.

Penulis dengan modal kuat berupa pengetahuan, selain cakap secara teknis, karya rata-rata yang ia selesaikan melintasi zaman. Saya menyakini itu Mbah Nun. Beliau menulis esai sebagai bagian shadaqoh di kehidupan ini. Saya belajar menulis cakap agar kelak menempati strata kehidupan yang tidak hanya bermanfaat, tapi juga kaya raya. Orang kalau kaya harta dan berhati dermawan, setiap hembusan napasnya adalah perubahan yang signifikan. Sejarah menceritakan shadaqohnya orang sugih mengalirkan keberkahan bagi lingkungannya.

Saya tidak tahu pasti apakah tulisan ini membahas sesuatu yang monoton. Yang saya bisa tuliskan ya seperti ini. Tumpahkan saja. Lagi pula memang ada hal baru yang belum di tulis? Di tema ini yang utama saya tuangkan isi kepala ke sini. Sebisa mungkin saya cocokan pembahasan ini ke bagian yang ini. Pembahasan itu sepertinya masih kurang. Beberapa kalimat perlu ditambahkan. Oh bagian ini kok tidak nyambung dengan bagian sebelumnya.

Pokoknya saya memancing ide apa saja. Melihat mobil, ide tentang mobil. Mendengar cerita ibunya anak-anak, ide tentang ibu rumah tangga. Tidak sulit menjaring ide. Andai saya mahir, ide-ide mudah saya alih wujudkan ke dalam tulisan-tulisan yang inspiratif.

Menulis itu terkesan kering jika bahan bacaan saya minim atau saya salah memilih buku bacaan. Salah membaca saja berpengaruh ke kualitas menulis. Orang-orang bisa sedemikian fanatik pada satu hal karena menyakini betul informasi yang mereka baca atau terima.

Latihan melancarkan menulis ini, bahan-bahan bacaan saya tertuju pada para penulis besar. Mereka itu sudah jaminan. Jam menulisnya sudah teruji jaman ke jaman. Seperti ketika saya membaca buku non fiksi Prof Sapardi Djoko Damono. Beliau menulis seperti sedang memberikan ceramah kuliah. Memang seperti itulah, menulis seperti sedang berbicara. Sehingga bahasa lisan dengan bahasa tulisan hanya berbeda ruang penyampaian. Bahasa lisan di sampaikan secara langsung dan berjarak dengan penuturnya. Adapun bahasa tulisan doi sampaikan di media kertas, blog atau sejenisnya dan berjarak dengan penulisnya.

Ide besar yang dituliskan secara tuntas, orisinalitas muatannya terjaga sepanjang jaman. Para pendiri bangsa ini menuliskan berjilid-jilid ide-ide besar. Mereka sampaikan di podium. Mereka bukukan. Curahan kehebatan pemikiran mereka terus tersambung di lain jaman. Ir. Sukarno menulis tema besar kebangsaan, tema agama, tema peran wanita dalam mengisi kemerdekaan. Tan Malaka dengan ide-ide besarnya mudah kita baca saat ini.

Saya juga tidak tahu pasti saat itu apakah Sukarno, Tan Malaka, Buya Hamka, menulis dengan pola spontan. Alamiah belaka atau mereka sediakan outline yang membekukan gagasan-gagasan besar itu agar tidak cair di saat suhu perjuangan memanas. Nyatanya mereka selesaikan itu. Melihat hasil pemikiran mereka di masa silam, kini saya sadar mereka tidak sepayah yang saya alami.
Bekasi Kota & Desa Babelan Kota, 10 Januari 2020
(Tulisan ini di selesaikan di SMK Ananda, Bekasi Timur dan di rumah, Desa Babelan Kota, Kab. Bekasi)

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar